Cerita PCOS (5)


Previous post

Qadarullah bulan Februari saya masih haid jadi kami kontrol lagi ke Prof Bus. Prof masih pingin nyoba telur saya distimulasi seperti sebelum-sebelumnya (dengan menggunakan diphtene dan suntik hormon 3x) lalu nanti setelah dievaluasi baru diputuskan apakah mau dengan cara normal saja (penanggalan) atau insem atau bayi tabung. Setelah 11 hari diberi terapi obat dan hormon tadi, kami balik ke klinik untuk dicek kondisi telurnya. Alhamdulillah hasilnya cukup bagus, ada beberapa telur yang besar. Akhirnya Prof mutusin buat insem aja dulu seperti bulan Oktober tahun lalu di Graha Amerta. Awal Maret setelah saya ujian ELPT saya menjalani prosedur insem lagi. Nggak ada yang spesial sih hehe prosesnya cukup cepat jam 11 masuk ke klinik fertilitas jam setengah 2 prosesnya sudah kelar dan boleh pulang. Nggak ada pantangan apa-apa juga setelah proses insem. Singkatnya, setelah 2 minggu ternyata saya haid alias insemnya masih belum berhasil. Lapor lagi lah ke Prof Bus dan saat itu Prof menawarkan mau laparoskopi atau bayi tabung. Beliau nyuruh kami diskusi dulu dan kembali lagi kalau memang sudah yakin. Waktu itu saya nanya ke Prof menurut beliau saya itu lebih baik menjalankan prosedur yang mana dulu. Beliau bilang lebih baik saya laparoskopi dulu karena saya masih muda dan lebih baik memastikan organ reproduksi saya memang tidak apa-apa, dari pada langsung lompat ke tahap bayi tabung dengan kondisi organ dalemnya belum pernah dicek.

Laparoskopi adalah prosedur bedah yang memungkinkan ahli bedah untuk mengakses bagian dalam perut dan panggul tanpa harus membuat sayatan yang besar di kulit. Prosedur ini juga dikenal sebagai operasi lubang kunci atau operasi invasif minimal (Halodoc). Jadi laparoskopi bisa dipakai nggak hanya untuk masalah infertilitas, tapi juga penyakit lain yang membutuhkan tindakan bedah minim invasif, contoh sekarang operasi usus buntu sudah pakai metode laparoskopi ini. Laparoskopi ada 2 tujuan, bisa diagnostik yaitu untuk mencari penyebab suatu penyakit dan satunya adalah laparoskopi yang tujuannya untuk mengobati atau menghilangkan penyebab penyakit tertentu. Dalam kasus saya karena sejauh ini tidak ada indikasi masalah anatomi di organ reproduksi maka tujuan laparoskopinya ada diagnostik. Jadi cuma ngecek aja keadaan organ reproduksinya apakah bener-bener aman plus lingkungan di sekitar organ reproduksi "dibersihkan" dengan air steril. Nah kalau misal pas dicek itu ditemukan hal-hal yang memerlukan tindakan maka ya akan dilakukan tindakan.

sumber: Melaka Fertility 

sumber: republika

Setelah diskusi dengan suami dan juga mempertimbangkan biaya, kami memutuskan untuk laparoskopi setelah lebaran saja. Kami ke prof kira-kira seminggu setelah lebaran. Awalnya sebenernya cuma mau diskusi kalau kami mutusin buat laparoskopi, eh tapi tiba-tiba langusng keluar tanggal 25 Mei 2021 tanggal laparoskopinya di RSIA Kendangsari wkwk. Pasrah wes, soon or later toh saya juga harus ngelewatin itu. Saya berusaha nggak terlalu mikirin tanggal 25 nanti gimana karena jujur kalau ditanya saya ya agak takut mau operasi pertama😅. Meski kata suami sih laparoskopi itu bukan operasi besar (tapi nggak bisa dibilang kecil juga karena bius total), teteup aja kan yaa heeuu....

Tanggal 25 Mei hari Selasa saya diminta ke RS sejak jam 8 pagi. Bingung juga ngapain ya nunggu lama disana wong tindakannya baru jam 2 siang atau 3 sore dan saya nggak berencana menginap (one day care). Ternyata karena ini termasuk tindakan operasi bedah maka prosedurnya kayak standar operasi beneran, beda sama OPU dulu. Jadi waktu dateng saya diminta menunjukkan hasil swab PCR dan disuruh ke IGD untuk dicek keadaannya sama dokter umum. Suami disuruh swab antigen karena akan masuk nungguin. FYI di RSIA Kendangsari prokesnya ketat, jadi penunggu cuma boleh 1 orang dan harus dipastikan negatif COVID19. Di IGD saya dicek TTV nya oleh dokter dan perawat lalu diambil darah untuk screening HIV dll. Lalu saya dianter ke ruang tunggu operasi setelah melakukan pembayaran. Kalau bakal nginep di RS maka akan dianter ke kamar tapi karena saya one day care makanya nunggunya langsung di ruang tunggu operasi. Kebetulan waktu itu tiba-tiba suami ada panggilan ke RS jadi saya lumayan lama nunggu sendirian. krik krik banget wkwk berusaha tidur tapi ya kebangun-bangun gitu, akhirnya baca-baca buku deh. Sesekali susternya dateng ngasih dokumen-dokumen yang harus saya tandatangani sama dikasi penjelasan terkait prosedur laparoskopi nanti. Sekitar jam 12an saya disuruh ganti baju operasi dan dilakukan pencukuran bulu pubis/skeren karena daerah di sekitar lapangan operasi harus benar-benar steril. Jam 1 suami datang dan nggak lama dokter anastesinya juga datang. Saya ditanya apa ada keluhan trus dicek ukuran mulut dan apakah ada gigi palsu atau tidak. Saya baru tau saat itu bahwa nanti saya bakal dipasang kateter dan oksigen dimasuin lewat selang mulut. Wadaw serem jugak tapi yaudahlah kan saya dibius nanti nggak tau apa-apa hahaha. Karena di ruang tunggu operasi agak dingin (dan saya mungkin nervous) saya bolak balik ke kamar mandi wkwk. Sekitar jam 2an saya dimasuin ke ruang operasi dan suami disuruh nunggu keluar. Waktu masuk itu rasanya ya Allah dingin pooooll badan langsung menggigil. Saya mulai dipasangi alat-alat dan nggak lama obat bius masuk. Langsung nggak inget apa-apa habis itu hehe.

Saya agak lupa, saya mulai sadar antara jam 4 atau jam 5 sore. Tapi itu juga masih setengah sadar, bisa ngajak ngomong suami tapi masih lirih trus badan menggigil kedinginan gak karuan. Kata suami gapapa itu efek anastesi, ntar lama-lama juga hilang. Setelah itu memang berangsur-angsur kesadaran saya balik normal, badan gak menggigil, dan bisa ngerasain badan. Baru ngerasa pake kateter dan bagian perut kayak kaku (bukan sakit). Pas saya lihat ada plester di 3 titik di daerah perut dan nantinya  seminggu setelahnya dicopot baru keliatan kalau lukanya itu super kecil, mungkin cuma 1 cm-an aja. Setelah bener-bener sadar saya nanya tadi hasil laparoskop gimana. Kata suami laparoskopinya cuma bentar mungkin 30 menit-an aja, trus ditemuin ada infeksi bakteri klamidia yang menyebabkan Pelvic Inflammatory Disease (PID) hingga infeksi di daerah omentum dan menyebar hingga deket liver. Ya Allah serem juga dengernya...kalau nggak dilaparoskopi nggak bakal ketauan ya. Disitulah saya bersyukur alhamdulillah seenggaknya ketauan ada yang salah memang di bagian dalem saya dan bisa ditangani. Karena infeksi ini, akhirnya ada perlekatan di bagian omentum dan sama prof sudah dibersihin dan sekalian dibuka jalur yang lengket-lengket. Alhamdulillah untuk organ reproduksinya semua normal dan prof juga nggak melakukan ovarian drilling karena belum ada indikasi kesana untuk kasus saya. Apakah infeksi ini yang menyebabkan promil-promil saya gagal sebelumnya? Bisa iya bisa tidak, karena infeksinya sendiri sebenarnya hanya di bagian kanan bukan keseluruhan. Tapi kembali lagi bahwa terkait masalah infertilitas ini probilitasnya banyak banget dan faktor X dari yang di Atas itu lebih besar dari apapun.

Setelah ngerasa udah oke, kateter saya dicopot, disuruh ganti baju, lalu saya diperbolehkan pulang. Saya dikasi roti dan air plus antibiotik sebanyak 40 biji dan juga obat nyeri. Oh iya setelah tindakan laparoskopi ini ada pendarahan beberapa hari. Kalau sakit bekas operasi sih bukan yang sakit banget ya, cuma nggak enak aja. Diusahakan bisa segera kentut sama BAB. Selama 3 hari pasca operasi saya belum bisa duduk di lantai atau mbungkukin badan, ketawa sama batuk juga kayak tertahan. Selebihnya insyaAllah nggak ada masalah. Terkait biaya aslinya itu sekitar 20-35juta tapi karena suami dokter alhamdulillah sekali kami hanya bayar sepertiganya hehe. Sama prof kami diminta balik 3-4 bulan lagi kalau memang belum hamil. Bismillah mari kita tunggu apa yang akan terjadi selanjutnya...😄


Comments

  1. Mba, pcos penantian berapa lama? Saya juga waktu itu dibilang pco sm dokter, sempet rutin ke dokter tapi sekarang sudah gak lagi.. mau istirahat dulu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah baru 3 tahun kak hehe. Bismillah tetep semangat ya 😇💪

      Delete

Post a Comment

Popular Posts